Digindonews.com-Dalam Forum Diskusi Publik bertajuk “Ruang Digital Anak Aman dan Sehat” yang digelar pada Jumat, 19 September 2025, pegiat literasi digital Yanto, Ph.D., menegaskan bahwa pemanfaatan teknologi digital oleh milenial bukan sekadar mengikuti tren, melainkan menyiapkan masa depan bangsa.
Yanto memaparkan bahwa jumlah pengguna internet Indonesia pada 2025 sudah melampaui 220 juta, dengan rata-rata masyarakat menghabiskan 5,7 jam per hari di ponsel. Namun, sebagian besar waktu itu terserap untuk hiburan, terutama video pendek, hingga mencapai 7 miliar jam per tahun.
“Sayangnya, hanya sedikit waktu digital yang digunakan untuk pendidikan atau pengembangan kompetensi. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar,” ujarnya.
Yanto menilai transformasi digital membawa disrupsi di hampir semua sektor, mulai dari bisnis, politik, hingga gaya hidup. “Di dunia kerja, bidang yang bersinar antara lain kesehatan, bioteknologi, data analysis, digital marketing, hingga game development. Namun tanpa keterampilan baru, milenial bisa tertinggal,” katanya.
Selain peluang, ancaman nyata juga mengintai. Yanto menyoroti meningkatnya kasus kejahatan siber. Polri mencatat berbagai modus penipuan online terus berkembang. “Milenial harus lebih berhati-hati mengelola data pribadi dan transaksi digital,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan risiko kesehatan akibat screen time berlebihan, mulai dari text neck syndrome, gangguan mata, insomnia, hingga nyeri leher. Dari sisi sosial, fenomena phubbing, smombie, hingga flexing di media sosial semakin mengkhawatirkan. “Tanpa kesadaran etika, digital justru bisa membentuk generasi antisosial dan individualistis,” tambahnya.
Menurutnya, keseimbangan antara hard skill dan soft skill sangat penting. Data analysis, coding, social media management harus diiringi kemampuan komunikasi, kreativitas, dan critical thinking. “Jejak digital adalah aset atau beban. Reputasi dibangun dari konsistensi dan tanggung jawab,” ujarnya.
Yanto menutup dengan pesan kolaboratif. “Milenial tidak bisa berjalan sendiri. Mereka butuh dukungan pemerintah, pendidikan, swasta, dan komunitas. Dengan literasi kuat, etika digital, serta kesadaran budaya, generasi muda bisa membawa Indonesia dari sekadar konsumen teknologi menjadi produsen yang berdaya saing di kancah global,” pungkasnya.***