Digindonews.com-Forum Diskusi Publik bertema “Sekolah Rakyat: Pendidikan Inklusif di Era Media dan Digital” yang digelar pada Kamis, 11 September 2025 juga menghadirkan pandangan mendalam dari Wildan Hakim, S.Sos., M.Si., dosen Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI). Ia menekankan bahwa Sekolah Rakyat adalah strategi negara untuk memastikan anak-anak miskin tidak tersisih dari akses pendidikan.
Menurut Wildan, Presiden Prabowo melahirkan program ini sebagai jawaban atas kondisi jutaan rakyat yang masih berjuang untuk merasakan arti kemerdekaan sejati, termasuk dalam hal pendidikan. “Sekolah Rakyat bukan sekadar institusi baru, tetapi strategi besar untuk menghadirkan kemerdekaan belajar bagi seluruh anak Indonesia, terutama yang berasal dari keluarga miskin ekstrem,” jelasnya.
Wildan menyoroti fakta BPS 2024 bahwa angka kemiskinan masih di kisaran 9,3%. Jutaan anak di dalamnya berisiko putus sekolah. Sekolah Rakyat hadir untuk menutup kesenjangan itu. Ia menegaskan bahwa pendidikan inklusif harus melahirkan warga negara yang berdaya, bukan sekadar bisa baca, tulis, dan hitung.
Sejak 2024, Sekolah Rakyat telah hadir di berbagai daerah seperti Pamekasan, Jakarta Selatan, Sofifi, Tangerang Selatan, Surabaya, hingga Bandung. Tahun 2025 ditargetkan 100 Sekolah Rakyat berdiri, dan 200 pada 2026. Kurikulumnya menggunakan model multi entry multi exit, yang memungkinkan siswa belajar sesuai kecepatan masing-masing, serta hidden curriculum yang menanamkan nilai solidaritas, empati, dan gotong royong.
Dalam konteks digital, Sekolah Rakyat menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, teknologi memungkinkan siswa di daerah terpencil mengakses materi setara dengan di kota besar. Namun, infrastruktur masih menjadi hambatan karena 12.000 desa belum memiliki sinyal 4G memadai. “Jika masalah ini tidak segera diatasi, digitalisasi pendidikan justru akan memperlebar jurang,” tegas Wildan.
Ia menekankan pentingnya melatih guru agar siap dengan teknologi digital. Data Kemendikbudristek 2024 mencatat hanya 37% guru merasa percaya diri menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Tanpa peningkatan kapasitas guru, sulit mewujudkan siswa yang kritis dan kreatif di era digital.
Wildan juga menyoroti peran Sekolah Rakyat dalam memutus rantai kemiskinan. Dengan sistem asrama, anak-anak dari kelompok paling miskin dapat belajar dalam lingkungan yang aman dan terarah. Selain itu, fasilitas learning hub memungkinkan mereka berbagi perangkat dan kuota internet dengan prinsip gotong royong.
Lebih jauh, pendidikan inklusif bukan hanya soal memasukkan anak ke ruang kelas, tetapi juga memberi mereka ruang suara. Anak-anak dari kelompok marjinal atau difabel harus diperlakukan sebagai subjek, bukan sekadar objek pendidikan. “Sekolah Rakyat adalah wahana demokratisasi pendidikan sejak dini,” ujar Wildan.
Ia menambahkan bahwa perlindungan anak di ruang digital juga wajib diperhatikan. “Anak-anak tidak boleh dieksploitasi data atau menjadi sasaran iklan komersial saat belajar melalui platform daring,” katanya. Regulasi yang ketat perlu disiapkan agar ruang digital tetap aman bagi mereka.
Wildan menutup paparannya dengan menyatakan bahwa Sekolah Rakyat adalah investasi sosial jangka panjang. Dampaknya baru akan terlihat 10–15 tahun mendatang ketika anak-anak miskin mampu berdiri sejajar dengan anak-anak dari keluarga mampu. “Sekolah Rakyat bukan sekadar program, tetapi gerakan moral bangsa. Pendidikan inklusif adalah pondasi masa depan Indonesia yang adil, setara, dan berdaya saing,” pungkasnya.***