Oleh: Aandika Pezri Mulia TJ
Aktivis dan Fungsionaris PB HMI
Pemberantasan narkoba masih menghadapi tantangan serius di berbagai daerah, termasuk di Provinsi Sumatera Barat. Salah satu kendala terbesar adalah terbatasnya keberadaan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota (BNNK) yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan narkoba di tingkat daerah.
Hingga pertengahan 2025, dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat, hanya 4 daerah yang memiliki kantor BNNK. Keempat daerah tersebut adalah Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Solok, Kota Payakumbuh, dan Kota Sawahlunto. Artinya, masih ada 15 daerah yang belum memiliki lembaga resmi BNN di wilayahnya.
Kondisi ini disoroti oleh Anggota Komisi III DPR RI, Benny Utama, yang menyatakan bahwa keberadaan BNNK seharusnya merata, sebagaimana halnya Polres dan Kejaksaan Negeri yang telah hadir di seluruh kabupaten/kota. Ketimpangan kelembagaan ini berisiko memperlemah penanganan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di tingkat lokal, terutama di daerah yang secara geografis terpencil namun memiliki potensi kerawanan yang tinggi.
Keterbatasan Lembaga, Terbatasnya Jangkauan
Sebagai institusi yang memiliki mandat pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkoba, BNNK memegang peran strategis. Tanpa kehadiran mereka di setiap daerah, proses koordinasi, deteksi dini, dan rehabilitasi menjadi kurang optimal. Bahkan, sejumlah kantor BNNK yang telah ada pun masih menghadapi berbagai keterbatasan, mulai dari penggunaan gedung sewa hingga minimnya personel dan sarana penunjang.
Situasi ini membuat upaya pemberantasan narkoba hanya bertumpu pada institusi kepolisian atau penegak hukum lainnya, yang tentu memiliki pendekatan berbeda dari BNN—khususnya dalam aspek pencegahan dan rehabilitasi sosial.
Alternatif Solusi: Program Kotang dan IBM
Sebagai bentuk respon terhadap keterbatasan tersebut, BNN telah meluncurkan dua program strategis, yaitu:
Kotang (Kota/Kabupaten Tanggap Ancaman Narkoba):
Program ini bertujuan mendorong pemerintah daerah agar mampu menyusun kebijakan dan strategi penanggulangan narkoba secara mandiri, termasuk membentuk Satgas Anti Narkoba serta menyusun regulasi lokal berbasis data kawasan rawan.
IBM (Intervensi Berbasis Masyarakat):
Program ini melibatkan partisipasi masyarakat melalui pelatihan Agen Pemulihan (AP) yang bertugas mendampingi korban penyalahgunaan narkoba ringan secara sukarela di tingkat desa atau kelurahan. Fokus utamanya adalah pendekatan humanis berbasis komunitas.
Kedua program ini menjadi alternatif di daerah yang belum memiliki BNNK, dan telah mulai diimplementasikan di beberapa wilayah di Sumbar seperti Kabupaten Solok, Kota Padang Panjang, dan Tanah Datar.
Menuntut Kebijakan yang Berpihak pada Daerah
Meski program-program berbasis masyarakat dapat menjadi solusi jangka pendek, keberadaan BNNK di seluruh kabupaten/kota tetap menjadi kebutuhan mutlak. Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa provinsi-provinsi seperti Sumatera Barat mendapatkan perhatian yang setara, baik dalam hal kelembagaan, pendanaan, maupun sumber daya manusia.
Langkah-langkah konkret yang dapat diambil antara lain:
Penyusunan roadmap pembentukan BNNK di semua daerah yang belum memiliki.
Peningkatan anggaran kelembagaan BNN, termasuk untuk pembangunan kantor dan pengadaan fasilitas.
Penguatan sinergi antar instansi, mulai dari BNN, Polri, Pemda, tokoh adat, dan elemen masyarakat sipil.
Pendidikan masyarakat dan pemuda tentang bahaya narkoba, yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum informal dan kegiatan keagamaan atau adat.
Sumatera Barat merupakan provinsi dengan potensi intelektual dan kultural yang besar. Namun, tanpa dukungan kelembagaan yang memadai untuk menangani ancaman narkoba, potensi tersebut bisa rusak oleh penyalahgunaan zat terlarang yang menyasar generasi muda.
Saatnya negara hadir secara nyata. Pemerataan lembaga BNNK bukan hanya soal administrasi, tapi soal penyelamatan generasi bangsa. Daerah tidak boleh lagi menjadi titik lemah dalam perang melawan narkoba.