Ekonomi
Oleh : Syaiful Anwar
Sebagai pencipta makhluk, Allah adalah Dzat yang paling mengenal manusia hingga pada hal-hal yang baik atau yang buruk bagi manusia. Allah memelihara makhluknya. Allah memelihara manusia bukan saja dengan kegembiraan tetapi juga dengan kesedihan. Allah mengurus kita tidak hanya dengan kenikmatan tetapi juga dengan penderitaan. Tujuannya supaya kita bisa mencapai perkembangan yang baik. Orang-orang yang tidak pernah dipelihara dengan penderitaan biasanya tidak berkembang ke arah kesempurnaan. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi mengingatkan bahwa kebaikan Allah kepada kita jauh lebih besar daripada ujian-Nya dan kebaikan Allah itu tak pernah berhenti.
Kesusahan dan kesulitan yang menimpa manusia tidak selalu harus disikapi dengan keluh kesah, karena setiap kesulitan belum tentu jelek akibatnya. Bisa jadi, kesulitan yang dihadapi manusia justru membawa kebaikan dan hikmah yang positif. Ada ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa pemahaman manusia tentang akibat dari suatu kejadian sangatlah terbatas, yang tahu secara keseluruhan hanyalah Allah Subhânahu wa Ta‟âlâ. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.‖ (QS.Al Baqarah 2: 216).
Ada sebuah ungkapan, ‖sometimes accident is not accident at all.‖ Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Umar bin Khattab radhiyallâhu „anhu pun pernah berkata,
―Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.‖ Dari kalimat itu terlihat benar ketenangan dan kedamaian jiwa yang dimiliki Umar bin Khattab karena pemahaman yang baik dan kokohnya keyakinan pada Allah. Keyakinan bahwa Allah yang paling tahu, apa yang terbaik bagi hambanya. Bahwa Allah adalah penghulu kasih sayang dan kebijaksanaan. Dan bahwa beserta kesulitan ada kemudahan.
Banyak kesulitan dalam hidup ini. Banyak pula manusia yang gagal karenanya. Tak ada perjalanan hidup yang seratus persen mulus. Tetapi Allah menegaskan bahwa di dalam kesulitan itu ada unsur-unsur kemudahan. Ia bahkan tidak mengatakan ―Sesudah kesulitan ada kemudahan” tapi “sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan.‖ (QS. al- Insyirah: 5-6). Ayat itu bahkan diulang dua kali dalam satu surat, yang menunjukkan sebuah penegasan. Dengan menggunakan logika terbalik, kita bisa menghayati dan merasakan, bahwa unsur-unsur yang ada pada kesulitan itu pada saat yang sama ada yang menjadi simpul-simpul jalan bagi kemudahan yang datang menyertainya. Atau bahkan jika kita cermati, secara tersirat kita dapati bahwa kesulitan bisa menjadi pintu mendatangkan kemudahan.
Contoh mudah saja. Begitu banyak orang, saat melamar suatu pekerjaan, berharap untuk mendapatkan panggilan tes. Karena mendapatkan panggilan tes adalah salah satu pintu yang jika bisa melewatinya maka akan dapat diterima sebagai pegawai. Jika tidak mendapatkan panggilan tes, bisa jadi si pelamar tidak layak atau telah tersisih dengan kandidat lain. Tes di sini bisa menjadi analog bagi sebuah kesulitan yang harus dilewati. Sedangkan mendapatkan pekerjaan atau diterima sebagai pegawai bisa menjadi analog bagi kemudahan.
Mungkin sejauh ini kebanyakan manusia belum meresapi atau menemukan ‘formula‘ ini karena mempersepsi kesulitan sebagai hal yang negatif. Sedangkan bagi orang-orang yang terbiasa bertafakur, kadangkala doa ―Allah, beri aku duka‖ adalah hal yang biasa. Karena dengan duka atau kesulitan itu bisa lebih mendekatkan dirinya dengan Allah, sehingga Allah pun senantiasa ‘melihat‘nya. Bagi mereka kesulitan adalah kebahagiaan, kemudahan adalah bagian dari kebahagiaan. Mereka memahami bahwa apapun ketetapan Allah adalah bagian dari kasih-Nya. Bagian dari cara Allah untuk membawa manusia ke dalam keadaan dan derajat yang lebih baik. Apapun –baik tentang kemudahan ataukah kesulitan– ujungnya akan selalu di jumpai ‘wajah‘ Allah saja. Karena mereka telah menemukan-Nya.
Bagi orang-orang yang ‗menemukan‘ Allah sangatlah pantas mendapatkan kemenangan. Yaitu jika seseorang mampu menemukan maksud Allah atas kesulitannya, sehingga dia bersabar. ―Hai orang-orang yang beriman, berlakulah sabar dan perkuat kesabaran di antara sesama kalian, dan bersiagalah kalian serta bertakwalah kepada Allah, supaya kalian memperoleh kemenangan.‖(QS. Ali Imran [3]: 200).
Dengan kata lain, kesulitan justru bisa menjadi satu kesempatan untuk menang. Tentu saja jika orang tersebut bersabar. Dalam sebuah hadits qudsi telah dituturkan,
―Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada salah seorang hamba-Ku pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari kiamat atau membukakan buku catatan amalan baginya.‖(HR. al-Dailamiy, dari Anas radhiyallâhu„anhu)
Dan orang-orang yang menemukan hakikat kesulitan inilah, yang kemudian ‗ketagihan‘ akan kemenangan. Orang- orang seperti ini dalam dunia motivasi disebut dengan The Climbers (para pendaki). Mereka adalah orang-orang yang beristirahat sejenak setelah selesai satu pekerjaannya, lalu akan berkemas lagi memulai pekerjaan baru (faidza faroghta fanshab, wa ilâ rabbika farghab). Dengan kesadaran akan tantangan dan kesulitan baru yang akan mereka jumpai. Dan tentu saja dengan kesadaran akan banyaknya pertolongan Allah atau kemudahan yang ternyata turut menyertai.
Ketua Mer-C (Medical Emergency Rescue Committee), dr. Jose Rizal Jurnalis, saat ditanya kenapa suka dan rela pergi ke beberapa zona perang untuk misi kemanusiaan padahal bisa saja mencapai kemapanan hidup jika pun dengan tinggal dirumah saja, menjawab dengan singkat,
―Hidup seperti itu, tidaklah nikmat‖.
Pengalaman hidup Ferrasta ‗Pepeng‘ Soebardi –dulu dikenal sebagai presenter sebuah acara kuis ‗jari-jari‘- mungkin juga bisa menjadi masukan bagi kita tentang indahnya memenang-kan pertempuran melawan kesulitan.
Pepeng menderita Multiple Sclerosis. Penderita Multiple Sclerosis harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tak bisa sembuh, karena hingga kini belum ditemukan obatnya. Kemudian penderita akan lumpuh dan terus-menerus merasa nyeri yang amat sangat. Kombinasi keduanya menyebabkan penderita mengalami tekanan mental yang berat. Tapi pepeng menghadapinya dengan sabar bahkan berusaha untuk lebih saleh dan terus memberi manfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Ia masih terus berkarya. Apapun yang ia bisa. Menulis buku, mengisi kuliah psikologi, dan lain-lain meskipun hanya di kamarnya.
―Haqul yaqin, saya tak akan stres,‖ ujar Pepeng. Pepeng juga menegaskan bahwa ia tidak mau menjadi victim (berputus asa), tetapi harus menjadi survivor sekaligus leader. Survivor selalu siap menghadapi segala sesuatu, tidak merasa takut sama sekali meski cobaan sangat berat. Survivor bukan berarti menjadi sombong, merasa dirinya bisa mengatasi segala sesuatu. Melainkan tetap mempunyai keyakinan bahwa Allah lah yang mengatasi segalanya.
Setelah bisa survive ia berusaha untuk take a lead dengan tak pernah kekurangan akal menghadapi kondisi yang serba terbatas. Ketika punya kaki, dia bisa pergi ke mana saja. Ketika lumpuh, dia pun tak lantas larut dalam penderitaan dan menyerah begitu saja. Ia berpikir bagaimana agar tetap bisa pergi tanpa menggunakan kakinya. Ketika seseorang bisa menjaga agar hatinya tak menderita, orang tersebut tak akan sick. Sehingga, apa pun kondisinya, dia akan take a lead. Badan boleh sakit, tapi tak menghalanginya untuk bisa berkontribusi pada keluarga dan lingkungan sekitarnya. I‟m not sick, but pain, kata Pepeng menggambarkan kondisinya.
Pepeng dengan kestabilan mental sekarang ini ternyata tak lepas dari godaan. Banyak orang yang datang menawarkan kesembuhan, Dari ujung yang paling kedokteran sampai ujung yang paling tak karuan. Semua godaan itu diyakini Pepeng sebagai sebuah konsekuensi dari pilihannya dan tantangan baru. Ia tetap memegang prinsip yang ia yakini untuk tak mencoba karena tahu bahwa cara-cara itu melanggar aturan Allah.
Kemudian, contoh yang terdahsyat dari para Climbers, adalah Rasulullah shallallâhu „alaihi wa sallam. Allah Subhânahu wa Ta‟âlâ menawarkan pada beliau, seluruh bumi dijadikan emas dan diserahkan kepada beliau. Tapi, apa yang beliau pilih? Beliau memilih jalan yang dianggap ‗aneh‘ oleh sebagian besar orang. Seorang kepala negara, tidur beralaskan rerumputan kasar lagi membekas di punggungnya, tidak makan sebelum yang lain makan, tidak mengambil fasilitas dan harta rampasan perang, tidak menyisakan harta di hari wafatnya karena diserahkan dijalan perjuangan. Beliau adalah seorang sederhana yang penuh cinta dalam pendakian 23 tahun tanpa henti dengan hasil yang sekarang bisa kita nikmati.