Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang kian deras, sejumlah organisasi lokal di berbagai daerah Indonesia terus menggeliat menjaga jati diri dan warisan budaya. Salah satu contohnya terlihat di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Febri Handika selaku Ketua Umum menyampaikan bahwa di tengah derasnya arus digitalisasi, transformasi sosial, dan pergeseran nilai-nilai generasi muda, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terus berupaya mempertahankan relevansinya sebagai salah satu organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia. Didirikan pada 5 Februari 1947, HMI bukan hanya saksi, tetapi juga pelaku dalam berbagai fase penting perjalanan bangsa.
Kini, di era serba digital dan dinamis, tantangan yang dihadapi HMI tidak lagi hanya bersifat ideologis atau politis, tetapi juga kultural dan struktural. Generasi muda hari ini tumbuh dalam dunia yang serba cepat, instan, dan pragmatis — karakter yang bisa bertabrakan dengan nilai-nilai perjuangan yang selama ini dijunjung tinggi HMI: keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan.
“Perubahan zaman menuntut kami untuk beradaptasi, tapi tanpa kehilangan akar,” ujar Febri, Ketua Umum HMI Cabang Batusangkar dalam persiapan Pelantikan Pengurus HMI Cabang Batusangkar dengan tema HMI Centrum gerakan keumatan dan kebangsaan. Ia menambahkan bahwa kader HMI saat ini dituntut untuk lebih progresif dalam memanfaatkan teknologi, namun tetap menjaga integritas intelektual dan moral.
Berbagai upaya dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan zaman, seperti digitalisasi kaderisasi, penguatan literasi digital, hingga keterlibatan dalam isu-isu kekinian seperti lingkungan, inklusivitas sosial, dan transformasi pendidikan. Di banyak cabang, HMI juga aktif menjalin kolaborasi dengan komunitas dan lembaga riset untuk memperkuat daya tawarnya di ruang publik.
Namun demikian, sebagian pengamat menilai bahwa HMI juga menghadapi risiko stagnasi internal jika tidak mampu menyatukan semangat idealisme dengan profesionalisme dalam gerak organisasi. Persoalan klasik seperti dualisme kepemimpinan, birokratisasi kaderisasi, hingga konflik internal masih membayangi.
Meski begitu, romantisme atas peran historis HMI tetap menjadi daya tarik bagi sebagian mahasiswa yang mendambakan ruang diskusi kritis dan pembentukan karakter kepemimpinan.
Di tengah perubahan zaman, HMI terus menapaki jalan panjangnya: antara menjaga nilai dan menjemput masa depan. Organisasi ini bukan hanya ditantang untuk bertahan, tapi juga untuk tumbuh sebagai bagian dari solusi atas problematika bangsa yang makin kompleks.
Disisi lain, Dukungan pemerintah daerah juga menjadi bagian penting dalam merawat romantisme ini serta penegasan komitmen untuk terus memberi ruang bagi organisasi lokal sebagai penjaga nilai-nilai kedaerahan yang adaptif dan kreatif.
Melalui sinergi antar HMI dan masyarakat, romantisme daerah bukan hanya bisa dikenang, tetapi juga dihidupkan kembali dengan cara yang relevan dan inspiratif bagi generasi masa kini di Kabupaten Tanah Datar, Tutupnya.