Ekonomi
Oleh : Syaiful Anwar
Indikator ini berkaitan dengan uang. Uang disini berupa tingkat income yang diterima oleh masyarakat. Dalam indicator moneter, ada beberapa indikator yang dapat diukur, yakni :
-
Pendapatan per Kapita
Pendapatan per kapita merupakan indikator yang paling sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara. Pendapatan per kapita itu sendiri merupakan indikator atas kinerja perekonomian secara keseluruhan. Pendapatan per kapita adalah indikator moneter atas setiap kegiatan ekonomi penduduk suatu negara.
Beberapa ekonom memandang bahwa pendapatan per kapita bukanlah indikator yang terbaik untuk menilai kinerja pembangunan suatu negara, karena seperti telah disinggung di muka pembangunan bukan hanya sekadar meningkatkan pendapatan riil saja, tetapi juga harus disertai oleh perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang sebelumnya menjadi penghambat kemajuan-kemajuan ekonomi. Namun demikian, meskipun pendekatan pendapatan per kapita ini dianggap memiliki kelemahan yang cukup mendasar sebagai indikator keberhasilan pembangunan, pendekatan ini masih relevan dan sering digunakan serta mudah untuk dipahami. Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah karena difokuskan pada esensi pokok (raison d’etre) dari pembangunan yaitu meningkatnya standar dan kualitas hidup masyarakat serta berkurangnya angka kemiskinan. Dengan kata lain, pendapatan per kapita bukanlah sebuah indikator ukuran (proxy) yang buruk dari struktur ekonomi dan sosial masyarakat.
Pendapatan per kapita juga merupakan salah satu variabel penting dalam pembahasan ekonomi makro. Selain digunakan sebagai indikator tingkat kemakmuran masyarakat suatu negara, pendapatan per kapita juga dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian suatu negara dari masa ke masa, melihat struktur perekonomian suatu negara, serta membandingkan kinerja perekonomian satu negara dengan negara-negara lain.
- Kelemahan Umum Pendekatan Pendapatan per Kapita
Salah satu kelemahan mendasar dari pendapatan per kapita sebagai sebuah indikator pembangunan terletak pada ketidakmampuannya untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara utuh. Sering kali adanya kenaikan pendapatan per kapita suatu negara tidak disertai oleh perbaikan kualitas hidup masyarakatnya.
Sebenarnya, sudah sejak lama ada keraguan pada konsep pendapatan per kapita sebagai sebuah cerminan dari tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat. Namun, kita harus tetap menyadari bahwa tingkat pendapatan masyarakat merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka, meskipun di samping itu ada beberapa faktor lain (nonekonomi) yang dinilai cukup penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka.
Faktor-faktor nonekonomi – seperti adat istiadat, keadaan iklim dan alam sekitar, serta ada atau tidaknya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat dan bertindak merupakan faktor-faktor yang juga dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan di negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama. Misalnya, apabila penduduk di daerah pegunungan kita asumsikan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif sama dengan penduduk yang hidup di daerah dataran rendah. Berdasarkan pada perbedaan kondisi alam dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di daerah dataran rendah adalah lebih tinggi, karena pada umumnya penduduk di daerah dataran rendah menghadapi tantangan alamyang relatif lebih ringan dibandingkan dengan penduduk di daerah pegunungan. Di daerah dataran rendah, iklimnya tidak terlalu dingin, pekerjaan bertani dan bercocok tanam pun lebih mudah dilakukan, dan energi yang dikeluarkan untuk perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya relatif lebih sedikit.
Ada tidaknya kebebasan dalam bertindak dan mengeluarkan pendapat juga memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Tidak adanya kebebasan dalam bertindak dan mengeluarkan pendapat di suatu negara (misalnya, pada negara-negara yang bersifat otoritarian) menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya selalu dipandang lebih rendah dari yang dicerminkan oleh tingkat pertumbuhan ekonominya.
Selain itu, beberapa ekonom memandang bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan suatu hal yang bersifat subyektif. Artinya, setiap orang mempunyai pandangan hidup, tujuan hidup, dan cara hidup yang berbeda. Dengan demikian memberikan nilai yang berbeda pula terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka. Ada sekelompok orang yang lebih menekankan pada akumulasi kekayaan dan tingkat pendapatan yang tinggi sebagai unsur penting untuk mencapai sebuah kepuasan hidup. Tetapi ada pula sekelompok orang yang lebih suka untuk menikmati waktu senggang (leisure time) yang lebih banyak dan enggan untuk bekerja lebih keras untuk memperoleh tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Di samping hal-hal yang dikemukakan di atas, perlu pula diingat bahwa pembangunan ekonomi mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam kehidupan masyarakat, misalnya hilangnya rasa komunalitas sehingga masyarakat menjadi bersifat lebih individualistis, hubungan antara anggota masyarakat menjadi lebih formal, dan sebagainya. Jadi, kadang di satu sisi, pembangunan ekonomi dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun di sisi lain tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi ini harus dicapai dengan beberapa pengorbanan dalam perilaku dan sikap hidup masyarakat. W. Arthur Lewis (1984) –
pemenang Nobel Ekonomi 1979 – mengatakan: “… like everything else, economic growth has its costs” yang berarti bahwa pembangunan ekonomi selain memberi manfaat kepada masyarakat, juga membutuhkan sebuah pengorbanan.
- Kelemahan Metodologis Pendekatan Pendapatan per Kapita
Secara metodologis, pendapatan per kapita sebagai indeks yang menunjukkan perbandingan tingkat kesejahteraan antar masyarakat ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan itu timbul karena pendekatan ini mengabaikan adanya perbedaan karakteristik antar negara, misalnya struktur umur penduduk, distribusi pendapatan masyarakat, kondisi sosial-budaya, dan perbedaan nilai tukar (kurs) satu mata uang terhadap mata uang yang lain.
Di NSB biasanya proporsi penduduk di bawah umur dan usia muda relatif lebih tinggi ketimbang di negara-negara maju. Dengan demikian, perbandingan pendapatan setiap keluarga di kedua kelompok negara itu tidaklah seburuk seperti yang digambarkan oleh tingkat pendapatan per kapita mereka. Misalnya, keluarga Pak Amir terdiri dari 5 anggota keluarga dengan pendapatan US $1.000 dan keluarga Pak Badu terdiri dari 3 anggota keluarga dengan pendapatan US $750. Meskipun pendapatan per kapita anggota keluarga Pak Amir lebih rendah dibandingkan pendapatan per kapita anggota keluarga Pak Badu, sangat mungkin keluarga Pak Amir mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan keluarga Pak Badu, karena beberapa jenis pengeluaran seperti rekening air dan listrik, perumahan, serta barang-barang lain yang digunakan secara bersama-sama tidak banyak berbeda di antara kedua keluarga tersebut.
Selain tingkat pendapatan, distribusi pendapatan merupakan faktor yang cukup penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Faktor ini sering kali kurang diperhatikan dalam perhitungan tingkat pendapatan per kapita, karena asumsi pokok yang digunakan dalam konsep pendapatan per kapita adalah one dollar, one man, yang artinya setiap orang memiliki proporsi yang sama atas pembentukan pendapatan per kapita. Berdasarkan pengalaman negara-maju, pada tahap awal pembangunan biasanya kondisi distribusi pendapatan ini akan memburuk, tetapi pada tahap akhirnya distribusi pendapatan ini semakin baik. Namun demikian, perkembangan di banyak NSB menunjukkan bahwa seiring dengan proses pembangunannya, kondisi distribusi pendapatan sering kali justru semakin buruk.
Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpuasan terhadap usaha-usaha pembangunan di beberapa NSB, karena usaha-usaha pembangunan dianggap hanya menguntungkan sebagian kecil anggota masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan utama pembangunan ekonomi belum tercapai sepenuhnya.
Tabel 3.1
Perbandingan GNP per kapita Menurut Kurs Pasar dan Paritas Daya Beli (PPP)
Beberapa Negara, 2007
Negara | GNP per kapita | GNP per kapita |
menurut kurs pasar | menurut PPP | |
(US $) | (US $) | |
Negara-negara ASEAN: | ||
Kamboja | 540 | 1.690 |
Laos | 580 | 1.940 |
Vietnam | 790 | 2.550 |
Indonesia | 1.650 | 3.580 |
Filipina | 1.620 | 3.730 |
Thailand | 3.400 | 7.880 |
Malaysia | 6.540 | 13.570 |
Singapura | 32.470 | 48.520 |
Newly Industrializing Countries: | ||
Korea Selatan | 19.690 | 24.750 |
Hongkong | 31.610 | 44.050 |
Singapura | 32.470 | 48.520 |
Taiwan | 16.590 | 30.100 |
Negara Maju/Industri: | ||
Australia | 35.960 | 33.340 |
Jerman | 38.860 | 33.820 |
Belanda | 45.820 | 39.500 |
Inggris | 42.740 | 34.370 |
Jepang | 37.670 | 34.600 |
Amerika Serikat | 46.040 | 45.850 |
Swiss | 59.880 | 43.080 |
Sumber: World Development Report (2009)
Pada Tabel 3.1 di atas tampak bahwa GNP per kapita Indonesia berada di bawah beberapa negara ASEAN lainnya, baik menurut harga pasar maupun menurut PPP. Sementara Singapura yang merupakan negara terkecil dilihat dari luas wilayahnya di kawasan ASEAN dan dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta orang mempunyai tingkat pendapatan per kapita menurut harga pasar yang tertinggi yaitu sebesar US $32.470.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat berbeda, meskipun tingkat pendapatan per kapitanya relatif sama:
- Pola pengeluaran masyarakat.
Perbedaan pola pengeluaran masyarakat menyebabkan dua negara dengan pendapatan per kapita yang sama belum tentu menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Misalnya, kita
asumsikan ada dua orang dengan tingkat pendapatan relatif sama, tetapi salah seorang di antaranya harus mengeluarkan biaya transportasi yang lebih tinggi untuk pergi ke tempat kerja, harus berpakaian necis, dan sebagainya, sementara yang satu tidak. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa kedua orang tersebut mempunyai tingkat kesejahteraan yang sama tingginya.
- Perbedaan iklim.
Adanya perbedaan iklim juga memungkinkan timbulnya perbedaan pola pengeluaran masyarakat di negara-negara maju dan NSB. Masyarakat di negara maju harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan yang sama dengan di NSB. Seperti kita ketahui, sebagian besar negara maju beriklim dingin dan sebagian besar NSB beriklim tropis. Oleh karena itu, penduduk negara-negara maju sering kali harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk dapat menikmati “iklim tropis” seperti yang biasa dinikmati oleh penduduk NSB. Pada musim dingin masyarakat negara maju harus mengeluarkan tambahan pengeluaran yang cukup besar untuk biaya pemanasan (heater) di rumahnya, dan biaya pendingin udara (air- conditioned) di musim panas.
- Struktur produksi nasional.
Adanya perbedaan yang mencolok pada komposisi sektoral juga akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Suatu masyarakat akan menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih rendah jika proporsi pendapatan nasional (pengeluaran) yang digunakan untuk anggaran pertahanan dan pembentukan modal (2) lebih tinggi dibandingkan di negara lain yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama.
Selama ini, metode perhitungan pendapatan nasional bersifat agregatif sehingga tidak dapat menunjukkan perubahan serta distribusi sektoral. Misalnya, jika sektor pertanian memiliki proporsi sebesar 50 persen dari GNP dan sektor nonpertanian juga
50 persen dari GNP, maka jika GNP tumbuh sebesar 10 persen per tahunnya, kemungkinan distribusinya seperti ditunjukkan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2
Distribusi Pertumbuhan Sektoral
SEKTOR | Persentase kenaikan sektoral | |||
A | B | C | D | |
Pertumbuhan sektor pertanian | 5 | 4 | 2 | 0 |
Pertumbuhan sektor non-pertanian | 5 | 6 | 8 | 10 |
Kombinasi D menunjukkan adanya stagnasi di sektor pertanian. Keadaan ini mengindikasikan bahwa pembangunan sektor pertanian mengalami kegagalan. Padahal sebagian besar penduduk NSB menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Keadaan ini pada akhirnya akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan penduduk di sektor tersebut semakin buruk.
Masih berkaitan dengan metode perhitungan pendapatan nasional, ada anggapan bahwa harga pasar suatu barang mencerminkan nilai sosial dari barang tersebut. Anggapan tersebut tidak selamanya benar karena adanya ketidaksempurnaan pasar (market imperfection) sebagai akibat dari: adanya beberapa hasil produksi yang tidak dipasarkan. Keadaan ini sering kali tampak di wilayah perdesaan, seperti adanya pola pertanian subsisten, di mana masyarakat menanam berbagai macam hasil bumi untuk dikonsumsi sendiri. Hal ini tentu saja akan membuat tingkat pendapatan nasional menjadi lebih rendah dari yang semestinya.
Adanya perbedaan nilai tukar juga mengakibatkan perbandingan tingkat pendapatan per kapita antara negara-negara maju dan NSB selalu timpang sehingga perbedaan tingkat kesejahteraan yang digambarkan jauh lebih besar daripada yang sebenarnya terjadi di antara kedua kelompok negara tersebut.
Sebagai contoh, Usher (1963) mengestimasi bahwa perbandingan pendapatan per kapita antara Inggris dan Thailand adalah 1 : 13,06. Artinya, jumlah pendapatan per kapita Inggris adalah 13,06 kali lebih besar daripada pendapatan per kapita Thailand. Angka perbandingan tersebut didapatkan jika pendapatan nasional Thailand dalam mata uangnya sendiri (baht) dikonversikan terhadap poundsterling pada tingkat kurs yang berlaku. Namun, jika pendapatan per kapita Inggris dan Thailand dinilai secara langsung pada tingkat harga di Thailand maka perbandingan tersebut hanya 1 : 6,27, dan jika pendapatan per kapita antara kedua negara tersebut dinilai pada tingkat harga di Inggris maka perbandingan tersebut akan turun menjadi 1 : 2,76.
Sementara itu, pada awal dekade 1950-an, Millikan (1950) dalam Balassa (1961) juga mengestimasi tingkat pendapatan per kapita negara-negara di kawasan Asia (kecuali Timur Tengah). Menurut perhitungan konvensional, pendapatan per kapita negara- negara di kawasan tersebut adalah US $58, namun menurut hasil estimasi Millikan, pendapatan per kapita dari negara-negara di kawasan tersebut mencapai US $195. Untuk negara-negara di kawasan Afrika menurut perhitungan konvensional nilai pendapatan per kapita mereka adalah US $48, tetapi setelah dilakukan estimasi ulang ternyata nilai sebenarnya adalah US $117. Sebagai bahan pembanding, dari studi yang dilakukan oleh Gilbert dan Kravis (1956) diperoleh temuan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di beberapa negara maju ternyata lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pendapatan per kapita mereka
Kesalahan dalam mengestimasi tingkat pendapatan per kapita di NSB disebabkan oleh adanya “ketidaksempurnaan” dalam metode penghitungan pendapatan per kapita. Ketidaksempurnaan tersebut disebabkan oleh dua hal yaitu:
- Adanya masalah dalam menentukan jenis-jenis kegiatan yang harus dimasukkan dalam perhitungan pendapatan nasional. Selama ini jenis-jenis kegiatan yang dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional
adalah setiap kegiatan hasilnya dijual ke pasar. Hal ini berarti pemilik faktor produksi memperoleh balas jasa atas kegiatannya tersebut. Padahal di NSB banyak sekali kegiatan produktif yang tidak dimasukkan dalam perhitungan pendapatan nasional yang seharusnya dapat dinilai misalnya mengerjakan sendiri pekerjaan- pekerjaan di rumah.
- Adanya kesulitan dalam mengonversi nilai pendapatan per kapita dari mata uang suatu negara ke mata uang negara lainnya. Biasanya nilai tukar resmi mata uang suatu negara dengan negara lain tidak mencerminkan perbandingan tingkat harga di kedua negara tersebut. Misalnya, kita asumsikan nilai tukar resmi antara mata uang negara kita (rupiah) terhadap dolar Amerika Serikat adalah 1 US $ = Rp10.000. Secara teoritis, hal ini berarti harga sebuah barang yang ada di Amerika Serikat apabila dikalikan dengan Rp 10.000 maka harus sama nilainya dengan barang yang sama di Indonesia. Namun kenyataannya, nilai (harga) barang tersebut di Indonesia bisa lebih kecil atau malah lebih besar dari nilai (harga) yang seharusnya secara teoritis.
- Indikator Kesejahteraan Ekonomi Bersih
Sebuah pendekatan baru tenang indikator pembangunan dikemukakan oleh Wiliamm Nordhaus dan James Tobin (1973) mereka mencoba menyempurnakan metode perhitungan GNP dalam upaya untuk memperoleh suatu indikator pembangunan ekonomi yan lebih baik yaitu dengan mengenalkan konsep Net Economic Welfare (NEW). Peneyempurnaa metode perhitungan GNP dilakukan dengan dua cara yaitu melakukan koreksi positof dan koreksi negatif.
- Koreksi Positif
Koreksi positif mengharuskan untuk memperhatikan waktu senggang (leisure) dan perkembangan sektor ekonomi informal. Waktu senggang ini berkaitan dengan jumlah jam kerja selama seminggu dan waktu yang diluangkan untuk kegiatan-kegiatan “noneconomi”. Kepuasan yang diharapkan dari waktu senggang ini diharapkan sama besarnya dengan kepuasan yang diperoleh dari balas jasa atas aktivitas produksi yang dilakukan. Disatu sisi adanya waktu senggang menyebabkan berkurangnya kapasitas produksi nasional yang pada akhirnya akan menurunkan nilai GNP. Namun disisi lain adanya tambahan waktu senggang menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. dengan demikian, agar “kepuasan” dari adanya waktu senggang tetap diperhitungkan, maka sebuah koreksi harus ditambahkan pada perhitungan GNP sehingga mengahsilkan konsep Net economic Welfare (NEW).
Koreksi positif lainnya adalah berkaitan dengan sektor ekonomi informal. Seperti kita ketahui, perekonomian NSB ditandai oleh besarnya peranan sektor ekonomi informal yang tumbuh pesat. Sektor ekonomi informal ini dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: (1) kegiatan ekonomi ilegal yang melawan hukum, misalnya perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang, dan (2) kegiatan ekonomi yang legal tetapi tidak tercatat sehingga terhindar dari pajak, misalnya pendapatan dari tukang batu yang memperbaiki rumah.
Pada umumnya, para ekonom tidak menambhakan kegiatan ekonomi ilegal ke dalam nilai produk nasional., karena sudah ada kesepakatan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan yang buruk dari segi sosial.
Kegiatan informal lainnya seperti yang dilakukan oleh pedagang kaki lima, tukang bakso, tukang tambal dan sebagainya menghasilkan output yang sangat berguna dan bernilai jual namun tidak diamsukkan dalam perhitungan produksi nasional karena kegiatan usahanya tidak tercatat secara resmi oleh pemerintah.
Sebagai konsekuensinya, laju pertumbuhan GNP riil akan lebih rendah dari sebenarnya.
- Koreksi Negatif
Koreksi negatif berkaitan dengan masalah kerusakan lingkungan (eksternalitas negatif) yang ditimbulkan oleh kegiatan- kegiatan di sektor produktif. Koreksi negatif mempertimbangkan biaya-biaya sosial (sosial cost) yang ditimbulkan oleh kegiatan- kegiatan ekonomi. Misalnya adanya proyek pembangunan perumahan. Proyek pembangunan prumahan selain membawa hasil yang negatif berupa polusi dan kerusakan sistem tanah. Hasil negatif tersebut menggambarkan biaya-biaya sosial yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan perumahan. Oleh karena itu, nilai GNP hrus dikoreksi dengan cara mengurangi GNP tersebut dengan biaya-biaya sosial yang dikeluarkan untuk memperoleh NEW.