Universitas Nasional, 2 Agustus 2025 Proses Musyawarah Besar (Mubes) Fakultas Hukum Universitas Nasional tahun ini kembali menjadi sorotan tajam setelah dinamika sidang pleno yang berlangsung lamban, penuh tarik-menarik kepentingan, dan disinyalir sarat dengan muatan politis yang mengaburkan esensi demokrasi kampus. Keterlambatan tahapan hingga ketidakmampuan Komisi Pemilihan Himpunan (KPH) dalam menjalankan tugasnya menjadi potret nyata dari krisis tata kelola organisasi mahasiswa yang semestinya menjunjung tinggi prinsip partisipatif dan akuntabilitas.
Musyawarah besar yang seyogianya menjadi forum tertinggi mahasiswa untuk menentukan arah kepemimpinan Himpunan Mahasiswa Hukum justru diwarnai dengan dinamika yang tak sehat. Berikut rangkaian sidang pleno Mubes I–IV yang menunjukkan inkonsistensi dan stagnasi proses:
1. Sidang Pleno I (Senin, 21 Juli 2025):
Sidang yang membahas tata tertib berjalan relatif lancar namun sudah menunjukkan tanda awal ketidaktegasan pimpinan sidang dalam menjaga ritme dan disiplin waktu peserta sidang.
2. Sidang Pleno II (Selasa, 22 Juli – Rabu, 23 Juli 2025)
Pembahasan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) justru mengalami penundaan tanpa argumentasi substansial. Penundaan ini menjadi tanda pertama bahwa proses sidang mulai disusupi pertimbangan-pertimbangan non-teknis.
3. Sidang Pleno III (Rabu, 23 Juli sore – Kamis, 24 Juli 2025):
Tahapan penting ini semestinya menjadi pematangan arah dan substansi pencalonan, namun kembali diwarnai oleh keterlambatan teknis dan minimnya kontrol pimpinan sidang dalam menjaga fokus forum. Penundaan terus berulang, menjadi pola berbahaya dalam tubuh Mubes.
4. Debat Kandidat (Sabtu, 2 Agustus 2025):
Puncak dari dinamika tak menentu terjadi dalam tahapan debat kandidat. Pimpinan sidang sebelumnya telah menetapkan bahwa debat akan digelar pada Senin, 28 Juli 2025, namun nihilnya informasi resmi menyebabkan penundaan hingga 9 hari dan debat baru dilaksanakan pada Sabtu, 2 Agustus 2025. Ketidakhadiran informasi ini bukan semata kesalahan administratif, melainkan bentuk konkret dari lemahnya koordinasi dan profesionalitas penyelenggara.
Ketika debat akhirnya digelar, alih-alih berjalan substansial, forum kembali memanas akibat perselisihan soal keabsahan verifikasi calon yang justru sudah difinalisasi oleh KPH selama 6 hari kerja sebelumnya.
KPH mempertanyakan keabsahan surat pernyataan bebas sanksi organisasi yang dinilai tidak sahih, dengan tanggal surat yang tidak jelas, hingga memunculkan deadlock. Fakta bahwa isu ini belum dibereskan sebelumnya menandakan proses verifikasi yang tidak profesional dan prematur, harusnya KPH menggunakan tanggung jawab dan kewenangannya untuk menguji kasahihan surat pada PAO Organisasi Kepengurusan periode calon tersebut.
Dalam forum debat, ditemukan pelanggaran terang terhadap AD/ART HIMAKUM, yakni syarat pencalonan yang mewajibkan kandidat pernah menjabat minimal satu tahun dalam struktur kepengurusan. Saat debat berlangsung, usia kepengurusan calon nomor urut 1 belum mencukupi syarat administratif tersebut. Kegagalan KPH mengantisipasi hal ini menjadi titik kritis yang menurunkan kredibilitas seluruh proses seleksi.
Kekacauan ini mencerminkan ketidakcakapan KPH dalam memahami fungsi legal-formal mereka, serta ketidaksanggupan memastikan proses seleksi berjalan sesuai dengan konstitusi organisasi.
Pimpinan Sidang Gagal Menjaga Integritas Forum
Alih-alih meredam kegaduhan, pimpinan sidang justru turut memperkeruh situasi dengan mengambil keputusan musyawarah internal yang tidak diperlukan secara prosedural. Beberapa keputusan teknis yang seharusnya menjadi domain KPH, justru dilemparkan ke forum sidang, membuka ruang debat yang kontraproduktif dan memperpanjang polemik tak berujung.
KPH dan Forum Gagal Menjaga Integritas Demokrasi Kampus
Rentetan kegagalan KPH—dari verifikasi, keterlambatan informasi, hingga tidak mampunya menjaga netralitas—telah menciptakan ruang spekulatif mengenai adanya pengaruh eksternal dan aktor-aktor politis yang bermain di balik layar. Forum bukan lagi menjadi tempat artikulasi gagasan, melainkan arena konflik dan pembenaran prosedur cacat demi mengamankan posisi.
Dengan kondisi debat kandidat yang cacat secara administratif dan substansi yang gagal tersampaikan dengan utuh, sidang akhirnya diputuskan untuk dibuka kembali pada Selasa, 5 Agustus 2025. Namun publik mahasiswa sudah terlanjur kehilangan kepercayaan atas kredibilitas proses ini.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan krisis legitimasi terhadap hasil akhir Mubes dan membuka diskursus perlunya intervensi pihak dekanat untuk menyelamatkan integritas organisasi mahasiswa fakultas.
Musyawarah Besar kali ini mengungkap betapa organisasi mahasiswa hukum, yang seharusnya menjadi laboratorium demokrasi dan hukum itu sendiri, justru tergelincir dalam praktik manipulatif, teknis yang bobrok, dan kepemimpinan yang tidak mengerti tugas dan tanggung jawab. Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur, regulasi, hingga kualitas kaderisasi, agar Mubes mendatang tidak menjadi sekadar teater politik mahasiswa, tapi benar-benar forum transformatif bagi regenerasi kepemimpinan.