Oleh: Hamzah Fansuri
Ketua OC LK III Badko Hmi Sumbar Dan Pengurus Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda (PTKP)
digindonews.com – Padang, 13 Agustus 2025 – Di tengah megahnya gedung-gedung perguruan tinggi, tersimpan sebuah kecemasan yang nyata. Setiap semester baru datang, ribuan mahasiswa dihadapkan pada pilihan sulit: membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terasa mencekik atau mengubur mimpi mereka untuk meraih gelar sarjana. Ini bukan lagi sekadar isu administrasi, ini adalah alarm merah bagi masa depan pendidikan bangsa.
Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Sumatera Barat melihat fenomena ini sebagai sebuah kontradiksi fundamental. Negara, melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, telah menggariskan sebuah cita-cita luhur: pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh semua, berfungsi sebagai eskalator sosial yang memutus rantai kemiskinan.
Namun, apa yang terjadi di lapangan?
Regulasi Pro-Mahasiswa yang Mati Suri dalam Praktik
Di atas kertas, aturan turunan seperti Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 dan Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang UKT telah menyediakan katup pengaman. Ada mekanisme penetapan UKT berkeadilan, ada pula celah untuk mengajukan keringanan. Namun, dalam praktiknya, regulasi ini seringkali menjadi macan kertas.
Proses penetapan golongan UKT kerap berjalan tanpa transparansi yang memadai. Verifikasi kondisi ekonomi mahasiswa cenderung dangkal dan tidak menyentuh realitas sesungguhnya, terutama bagi mereka yang orang tuanya bekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, atau pedagang kecil di Sumatera Barat. Pendapatan yang tak menentu seolah tak terbaca oleh sistem yang kaku.
Akibatnya, mekanisme banding UKT yang seharusnya menjadi jaring pengaman justru berubah menjadi labirin birokrasi yang melelahkan. Mahasiswa yang memperjuangkan haknya kerap dipingpong, dihadapkan pada syarat-syarat yang rumit, hingga akhirnya menyerah pada keadaan dan terpaksa mengambil cuti—sebuah istilah halus untuk “tersingkir secara finansial”.
Saat Kampus Bertuhan pada Angka
Ketika proses verifikasi kehilangan empati dan mekanisme keringanan menjadi sulit diakses, maka kampus sejatinya telah mengubah statusnya dari candi ilmu menjadi pusat bisnis. Logika industri mengambil alih, di mana mahasiswa dipandang sebagai konsumen dan UKT adalah laba yang harus dimaksimalkan. Esensi pendidikan sebagai hak asasi manusia tergerus oleh prinsip untung-rugi.
Ini adalah bentuk komersialisasi terselubung yang sangat berbahaya. Ia secara perlahan tapi pasti mengeliminasi anak-anak cerdas dari keluarga kurang mampu, memupus harapan mereka untuk mengubah nasib keluarga melalui pendidikan.
Panggilan untuk Bertindak
Melihat kebuntuan ini, Badko HMI Sumatera Barat tidak akan tinggal diam dan dengan ini mendesak dengan tegas:
1. Audit Total dan Transparansi Penetapan UKT. Seluruh pimpinan Perguruan Tinggi Negeri di Sumatera Barat harus membuka kepada publik bagaimana formula penetapan UKT diterapkan, serta wajib melibatkan perwakilan mahasiswa (BEM/DEMA) dalam setiap proses verifikasi dan validasi data.
2. Humanisasi Proses Banding dan Keringanan. Hilangkan birokrasi yang berbelit. Bentuk Posko Aduan atau Help Desk UKT di setiap fakultas yang benar-benar berfungsi membantu, bukan mempersulit mahasiswa yang mengajukan keringanan, cicilan, atau penundaan.
3. Hentikan Praktik “Cuti Paksa”. Universitas harus dilarang keras memaksa mahasiswa mengambil cuti hanya karena keterlambatan membayar UKT. Setiap mahasiswa yang terkendala harus secara proaktif ditawari solusi, bukan langsung diberi sanksi.
Setiap mahasiswa yang terpaksa berhenti kuliah karena UKT adalah satu potensi pemimpin, inovator, dan cendekiawan yang hilang bagi bangsa ini. Kami menyerukan kepada seluruh Rektor dan pemangku kebijakan untuk kembali membaca undang-undang dengan hati nurani, bukan hanya dengan kacamata angka. Jangan biarkan UKT menjadi gerbang eliminasi yang meruntuhkan mimpi anak bangsa. ***