Jakarta,09-Januari – 2025 .,Dewasa ini wajah hukum di indonesia dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful). BuramnyaS wajah hukum merupakan anak kandung penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan. Kalaupun hukum telah dicoba ditegakkan maka penegakannya yang diskriminatif.
Oleh karena itu, reformasi hukum dalam konteks ini menjadi sebuah keniscayaan. Reformasi hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Selain itu hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat dan sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan masyarakat).
Di Indonesia, tujuan hukum adalah untuk membentuk suatu pembentukan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jika hukum tidak lagi dapat bekerja sesuai tujuan dan sebagaimana fungsinya maka itu menandakan upaya-upaya reformasi hukum sudah waktunya dilakukan. Roscoe Pound misalnya, telah mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering), tetapi apabila dalam kenyataannya di Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as tool of corruption engineering) maka jelas diperlukan reformasi terhadapnya. Reformasi hukum bukan saja diartikan sebagai penggantian atau pembaruan perundang-undangan, akan tetapi juga perubahan asumsi dasar dari sebuah tata hukum yang berlandaskan ide-ide diskriminatif dan kesenjangan sosial menjadi ide-ide persamaan di depan hukum dan keadilan sosial.
Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah terciptanya hukum yang tertib dan berkeadilan namun tetap senantiasa mampu mendorong pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam kerangka reformasi hukum adalah tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan dalam masyarakat. Namun demikian, realita dalam praktek penegakan hukum senantiasa menunjukkan hukum yang meninggalkan rasa keadilan. Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).
Dapat dilihat bahwa catatan kritis tentang sistem hukum dan penegakannya belum mencipakan apa yang dicitacitakan, meliha sistem peradilan yang tidak independen dan imparsial, inkonsistensi dalam penegakan hukum, intervensi, lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat, kontrol terhadap penegakan hukum yang lemah dan Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull daripada the needy.
Catatan-catatan kritis tersebut menjadi gambaran agar setidaknya secara konsep perlu di wujudkan dalam reformasi hukum dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan, Pada dasarnya reformasi hukum harus menyentuh struktur Hukum, substansi Hukum dan budaya Hukum sebagaimana yang di jelaskan Lawrence Friedman.
Dari segi materi/substansi hukumnya pembenahan perlu dilakukantidak hanya mencakup kemungkinan mengadopsi pranata-pranata hukum baru yang muncul dalam kerangka globalisasi ekonomi yang dapat memunculkan kecenderungan terjadinya globalisasi hukum, namun juga adaptasi terhadap paradigma baru dalam sistem pemerintahan khususnya berkaitan dengan otonomi daerah, misalnya kemungkinan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum adat setempat bagi hubungan-hubungan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum tertentu.
Perjalanan reformasi hukum dikatakan belum berhasil optimal melihatrealitas penegakan hukum yang terjadi sampai hari ini. Kepastian hukum masih ditegakkan melalui pendekatan peraturan atau undang-undang atau pendekatan legislatif, belum melalui penegakan hukum oleh pengadilan sebagai benteng terakhir masyarakat pencari keadilan atau pendekatan law enforcement dan an independent judiciary. Meskipun supremasi hukum diteriakkan keras-keras, tetapi sejalan dengan itu penghormatan terhadap hukum hanya sebatas formalistik dan prosedural.
Ketidakhormatan terhadap hukum semakin menjadi-jadi manakala hukum hanya dipandang secara tekstual dan sangat positifistik menafikkan aspek keadilan yang menjadi ruhnya. Institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice semata tanpa memperdulikan substansial justicesehingga segala sesuatu dilihat secara hitam-putih.
Hingga masa pemerintahan yang berganti , reformasi hukum belum dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Terbukti, masih dilakukannya kebiasaan-kebiasaan lama melalui praktik judicial corruption, tidak tuntasnya masalah penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM, dan korupsi.
Soal penting bagi kepemimpinan hari ini adalah mampu menjawab dan menciptakan reformasi hukum yang berkeadilan, reformasi hukum sebagai bentuk penerimaan bangsa indonesia terhadap perkembangan zaman, bahwa hukum tidak pasif tapi harus berkembang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.Alfin mubin reniwurwarin, S.H