Oleh: Robi Alhamda — Jurusan Manajemen Pendidikan Islam, S2 Pascasarjana UIN SMDD Bukittinggi
Pulau Sumatra kembali menjadi headline nasional. Banjir bandang, tanah longsor dan gempa silih berganti menerjang wilayah yang dahulu dikenal subur, hijau, dan kaya akan sumber daya alam. Tangis kehilangan, trauma, serta kerugian ekonomi terus berulang, seakan “membiasakan” masyarakat hidup berdampingan dengan duka. Namun pertanyaan paling mendasar adalah: apakah bencana ini murni kemarahan alam? Atau justru refleksi kelalaian manusia dalam menjaga bumi?
Ketika Bencana Tidak Lagi “Fenomena Alam Semata”
Kita cenderung menyalahkan badai, hujan, dan gejala alam saat bencana datang. Padahal akar masalahnya jauh lebih kompleks. Hutan dibabat, bukit dicukur, daerah aliran sungai dialihfungsikan menjadi permukiman, perkebunan dan industri. Alam kehilangan pelindungnya — sementara manusia terus meminta lebih banyak dari tanah tanpa memberi kesempatan untuk pulih.
Apa yang terjadi kemudian? Ketika hujan tiba, air tidak lagi tertahan akar pepohonan, melainkan langsung meluncur deras ke lembah dan pemukiman penduduk. Longsor bukan lagi kejutan, tetapi sebuah konsekuensi.
Pembangunan yang Melupakan Keberlanjutan
Kita tentu tidak menolak pembangunan — tetapi pembangunan yang mengorbankan kelestarian lingkungan pada akhirnya menjadi bumerang. Ketika izin penebangan diberikan tanpa kajian lingkungan yang matang, ketika hutan lindung berubah menjadi wilayah industri, dan ketika daerah rawan tetap dipaksakan untuk menjadi permukiman — maka yang dibangun bukanlah peradaban, tetapi risiko.
Pengetahuan lokal dan budaya ekologis masyarakat di Sumatra sebenarnya sudah sejak lama mengajarkan harmoni dengan alam. Namun arus modernitas yang tidak terarah membuat kearifan itu tergilas oleh ambisi ekonomi jangka pendek.
Saatnya Mengubah Cara Pandang
Bencana bukan hanya tragedi, tetapi peringatan keras. Alam berbicara — lewat air bah, lumpur, dan runtuhnya tanah — bahwa ia tidak bisa terus diperas.
Ada tiga kesadaran penting yang perlu dibangun:
1. Alam bukan objek eksploitasi, melainkan mitra kehidupan.
2. Pembangunan harus menempatkan keberlanjutan sebagai prinsip utama.
3. Pendidikan lingkungan dan literasi kebencanaan harus ditanamkan sejak dini.
Kembali pada Amanah “Khalifah di Bumi”
Sebagai seorang Muslim dan pendidik, saya melihat hubungan manusia dengan alam bukan hanya urusan ekologis, tetapi juga urusan moral dan spiritual. Dalam ajaran Islam, manusia diberi amanah sebagai khalifah fil ardh — pemimpin di muka bumi yang bertugas menjaga, bukan merusak.
Ketika alam hancur karena ulah manusia, maka sesungguhnya kita telah mengkhianati amanah itu.
Alam tidak pernah marah — ia hanya mengembalikan apa yang manusia lakukan. Dan hari ini, Sumatra sedang mengirim pesan: jika kita ingin hidup tenang, maka jangan buat alam menderita. Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki — sebelum bumi benar-benar kehilangan kesabarannya.


