Ketika berbicara tentang demokrasi, sebagian besar orang langsung membayangkan pemilu, parlemen, atau kebebasan berpendapat.
Padahal, demokrasi tidak berhenti di bilik suara. Demokrasi sejati hidup di ruang-ruang yang lebih dalam: di dapur rakyat, di puskesmas yang ramai pasien, di rumah sakit yang menolong tanpa pilih kasih.
Di sanalah Demokrasi Pancasila menemukan maknanya — ketika keadilan sosial benar-benar menyentuh tubuh dan kesehatan rakyat.
Demokrasi Pancasila bukan sekadar sistem politik, tetapi sistem nilai yang menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan berbangsa.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, menegaskan penghormatan terhadap martabat manusia, termasuk hak untuk hidup sehat.
Sementara sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi landasan moral agar pelayanan kesehatan tidak hanya dinikmati mereka yang mampu membayar, tetapi juga mereka yang seringkali luput dari perhatian negara.
Dalam kerangka ini, hak kesehatan bukan kemurahan hati pemerintah, melainkan konsekuensi logis dari demokrasi itu sendiri.
Negara yang demokratis tidak boleh membiarkan rakyatnya jatuh sakit karena kemiskinan, atau mati karena tak mampu membayar rumah sakit.
Pasal 28H dan 34 UUD 1945 sudah jelas: setiap warga berhak atas pelayanan kesehatan, dan negara bertanggung jawab menyediakannya.
Maka, ketika layanan kesehatan masih timpang — antara kota dan desa, antara kaya dan miskin — di situlah demokrasi kita sesungguhnya sedang diuji.
Kesehatan rakyat juga merupakan syarat utama bagi demokrasi yang hidup. Rakyat yang sakit, lemah, dan tidak sejahtera sulit berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik.
Mereka kehilangan daya tawar politik, kehilangan kesempatan untuk bersuara. Demokrasi Pancasila menuntut negara untuk memastikan setiap warga cukup sehat untuk ikut bermusyawarah, bekerja, dan berperan dalam pembangunan bangsa.
Karena itu, memperjuangkan kesehatan sebagai hak asasi manusia sejatinya adalah bagian dari memperkuat Demokrasi Pancasila.
Ketika rakyat sehat, maka partisipasi tumbuh, solidaritas menguat, dan kedaulatan rakyat benar-benar punya isi.
Maka, mari kita pahami: kesehatan bukan hanya urusan medis, tapi urusan demokrasi.
Negara yang sungguh demokratis bukanlah yang sekadar menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun, melainkan yang setiap hari memastikan rakyatnya sehat, sejahtera, dan bisa hidup bermartabat.
Di situlah Pancasila berhenti menjadi slogan, dan benar-benar menjadi napas kehidupan bangsa.
Karena itu Demokrasi Liberal lah yang membuat biaya kesehatan warga mahal, sehingga masyarakat kian jauh dari akses kesehatan.
Sudah waktumya kita kembali menerapkan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila untuk wujudkan kesehatan warga yang paripurna